Senin, 10 Januari 2011

Sebuah Kajian Semiotika

GAMBARAN KEPRIHATINAN IBU PERTIWI ATAS KETRAGISAN NASIB BANGSA
DALAM PUISI ‘SURAT BELASUNGKAWA’ KARYA AGUS R. SARJONO1

Liestia Lestari2

ABSTRAK

Kajian terhadap puisi ‘Surat Belasungkawa’ karya Agus R. Sarjono ini merupakan kajian semiotika yang menafsirkan tanda-tanda yang hanya tersirat dalam setiap kata (komponen bahasa) di dalamnya. Bahasa merupakan suatu sistem yang melambangkan sesuatu. Yang artinya, dalam bahasa tersebut terdapat suatu pengertian, konsep, ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan.
Kajian ini bertujuan untuk mengungkap arti dari lambang-lambang atau tanda yang terdapat dalam puisi ‘Surat Belasungkawa’, yang secara garis besar merupakan penggambaran dari luapan keprihatinan atas berbagai macam kejadian yang terjadi di negeri kita, Indonesia. Puisi ini secara gamblang mengungkapkan keprihatinan yang disampaikan dengan penuh kesedihan, kepedihan, juga ketragisan.
Agus R. Sarjono merupakan salah satu penyair yang seringkali mengangkat tema sosial yang dapat kita jumpai sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat kita. Namun, di balik kata-kata keseharian yang ada dalam puisinya, terdapat berbagai macam tanda yang kemudian salah satunya akan dibahas dalam kajian ini.

Kata kunci: Bahasa sebagai fakta sosial, indeks (sebab akibat), simbol (kesepakatan), signifié (petanda), signifiant (penanda).

Pendahuluan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Untuk terjadinya jalinan kerja sama atau interaksi seperti yang disebutkan dalam pengertian bahasa menurut KBBI tersebut, tentulah bahasa yang digunakan harus sudah memiliki kesamaan arti dan makna bagi pemakainya. Seperti, kata “ibu” memiliki pemaknaan sebagai sosok wanita yang telah mengandung, melahirkan, serta merawat dan menyayangi anaknya hingga akhir hayatnya. Pemahaman tersebut haruslah telah sama bagi setiap pengguna bahasa, agar terjalin komunikasi yang baik.
Hal tersebut di atas berkaitan erat dengan salah satu hakikat bahasa, yaitu bahasa adalah lambang. Oleh karena bahasa adalah lambang, maka ilmu atau kajian semiotika muncul untuk mempelajari lambang atau tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Selama hidupnya, manusia akan terus berinteraksi. Dalam interaksi ini, bahasa akan menjadi sesuatu yang sangat penting, karena dengan berbahasalah maka manusia mampu berinteraksi. Karena itu, bahasa merupakan pengantar bagi manusia untuk bersosialisasi dengan manusia lainnya. Oleh karena peran bahasa tersebut itulah, dalam Saussure untuk Sastra disebutkan, bahasa sebagai fakta sosial.
Durkheim menjelaskan bahwa interaksi antaranggota masyarakat akan menimbulkan pelbagai fenomena seperti adat-istiadat, tradisi, sistem kekerabatan, dan segala macam kaidah perilaku yang secara keseluruhan, dalam perspektif tertentu, merupakan suatu entitas tersendiri. Lalu bagaimanakah bahasa dipandang sebagai fakta sosial? Jika diandaikan, seorang balita menyebut anjing dengan ‘gogog’ karena suara anjing tersebut yang ia dengar adalah ‘gogog’. Namun setelah tumbuh besar dan mulai bersekolah, anak tersebut mulai menyebut anjing dengan ‘anjing’, bukan dengan ‘gogog’ lagi. Hal tersebut karena dalam sosialisasinya dengan lingkungannya, semua orang menyebut ‘gogog’ tersebut dengan ‘anjing’. Karena anak tersebut bersosialisasi, maka ia pun akan menyesuaikan diri dengan bahasa yang digunakan di lingkungan sosialnya.
Ketika seseorang mendengar kata ‘anjing’, dalam benaknya akan muncul gambaran, hewan berkaki empat, dengan lidah yang selalu menjulur, serta hewan yang sangat akrab dengan manusia. Menurut Saussure, gambaran tentang ‘anjing’ tersebut, merupakan signifie atau petanda (sesuatu yang ditandai). Namun ketika seseorang terus berpikir tentang anjing, meski tidak terucapkan oleh bibirnya, namun terus terucap dalam benaknya, itulah yang disebut dengan signifiant.
Seperti yang kita ketahui, kini manusia tidak dapat jauh dari bahasa sastra. Mengapa? Dapat kita lihat, berbagai macam karya sastra kini sangat mudah diperoleh dan dinikmati oleh seluruh kalangan. Baik itu berupa puisi mau pun prosa. Kaitannya dengan lambang atau tanda ini ialah, bahasa sastra, sebagaimana diintroduksi oleh Lotmann (1977: 15), metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya, bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang sarat dengan pesan kebudayaan. Pesan tersebut, tentunya tidak akan tersampaikan dengan baik, apabila pembaca dari pesan tersebut tidak mampu menangkap makna atau arti dari setiap lambang atau pun tanda yang terdapat di dalamnya. Menurut North (1990:42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsir. Tidak ada tanda kecuali diinterpretasikan sebagai tanda.
Maka dalam kajian ini, salah satu puisi karya Agus R. Sarjono akan saya coba kaji berdasarkan kajian semiotika. Berikut adalah puisi ‘Surat Belasungkawa’ karya Agus R. Sarjono:




Surat Belasungkawa

Hujan berhari-hari, begitu derasnya. Basah sudah
daun-daun dan hatiku. Gerangan siapakah
yang meratap begitu rupa. Api berkobar-kobar
menghanguskan jantungku
jantung negeri yang purba.
Peluru berdesingan merobek jiwaku
Jiwa negeri yang nestapa.

Sebagai ibu, aku tak melahirkanmu
dengan tinju dan peluru. Maka anak-anakku, siapa
yang mengajari engkau segala kekerasan ini?
Bahasa dendam dan api. Darah adik-adikmu juga
yang kautumpahkan. Darah anak-anakku
dengan masa depan yang jingga
dan gemuruh!


Dengan darah siapa lagi
tubuh ibumu mesti dicuci
dengan kobaran api macam apa lagi
kotoran di jantungku mesti dibasmi.
Dengan airmata siapa lagi, ketakutan
dan erang luka siapa lagi, baru negeri ini
bisa berdiri seperti layaknya sebuah negeri
tanpa kekerasan yang membikin aku, ibumu
bergidik ngeri menangisi nasib
anak-anaknya sendiri.

1998.


Tanda Menurut Peirce dan Kaitannya dengan Puisi ‘Surat Belasungkawa’

Peirce membagi tiga, hubungan antara tanda dengan acuannya, yaitu ikon (serupa), indeks (sebab akibat), dan simbol (kesepakatan). Dalam puisi Surat Belasungkawa, di bait awal, kental dengan hubungan indeks atau sebab akibat. Seperti:

Hujan berhari-hari, begitu derasnya. Basah sudah
daun-daun dan hatiku

Dapat kita perhatikan, adanya hubungan sebab akibat dari sepenggal puisi Surat Belasungkawa di atas. Hujan berhari-hari, tentunya akan menyebabkan semua benda yang tidak terlindungi menjadi basah. Begitu pula dengan penggalan berikutnya:

Api berkobar-kobar
menghanguskan jantungku

Kobaran api seperti yang tercantum dalam penggalan puisi tersebut, tentulah dalam benak kita sudah tergambarkan, akan menghanguskan apa saja yang berhasil dicapainya.
Meski pun dari kedua penggal puisi di atas, secara semantik tidak masuk akal, seperti air hujan tidak mungkin membasahi hati yang jelas-jelas berada di dalam tubuh manusia, atau kobaran api tidak mungkin akan menghanguskan jantung seseorang. Karena, jantung merupakan organ dalam yang dilindungi oleh tubuh manusia. Kalau pun terbakar, yang akan hangus adalah tubuhnya. Namun di balik ketidaksesuaian makna tersebut, tetap saja penggalan-penggalan tersebut menggambarkan suatu hubungan sebab akibat. Hujan menyebabkan basah. Sedangkan api menyebabkan hangusnya sesuatu.
Sedangkan dari hubungan simbol atau kesepakatan, dalam puisi ini terdapat penggalan seperti di bawah ini:

Sebagai ibu, aku tak melahirkanmu
dengan tinju dan peluru

Dari penggalan tersebut, terlihat bahwa kata ‘ibu’ adalah sosok seseorang yang telah melahirkan kita. Sehingga terjadi kesepakatan dalam bahasa kita (Indonesia), bahwa kata ‘ibu’ adalah sosok wanita yang telah melahirkan kita.
Sedangkan dari hubungan ikon atau serupa, dalam puisi ini, saya tidak menemukan hubungan tersebut di dalamnya.
Tanda Menurut Zaimar dan Kaitannya dengan Puisi ‘Surat Belasungkawa’

Menurut Zaimar (1991), kajian semiotika dalam sebuah karya sastra hendaknya diawali dengan tiga tahap, yaitu: mengkaji dari aspek sintaksis, mengkaji dari aspek semantik, dan mengkaji dari aspek pragmatik.
Dari aspek sintaksis, pertama kita dapat melihat pada baris pertama tertulis:

Hujan berhari-hari, begitu derasnya.

Apabila kita perhatikan, baris pertama dalam puisi tersebut merupakan sebuah frasa. ‘Hujan berhari-hari, begitu derasnya.’sebenarnya berasal dari frasa ‘Hujan deras’. Jadi meski pun sekilas tampak seperti klausa, namun penggalan puisi tersebut adalah sebuah frasa. Bahasa sastra, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berbeda dengan bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, seringkali bahasa sastra memang tidak selalu mengikuti kaidah sintaksis. Dalam puisi ini, saya menemukan penggalan yang dapat dikatakan ‘manut’ dengan kaidah sintaksis, yaitu:


Api berkobar-kobar menghanguskan jantungku

Jika penggalan puisi tersebut dianalisis agar kita mengetahui, sesuai atau tidakkan dengan kaidah sintaksis, akan menjadi seperti berikut:

Api berkobar-kobar menghanguskan jantungku
Subjek (frasa) Predikat Objek

Dari sisi sintaksis, kalimat di atas tepat, karena letak subjek, predikat, mau pun objek telah tepat pada posisinya masing-masing.

Sedangkan dari aspek semantik, dalam puisi ini, sebenarnya tidak terdapat kata-kata yang kemudian menyulitkan pembaca untuk memahaminya. Namun, seorang Agus R. Sarjono menggunakan kata-kata yang sebenarnya menyembunyikan makna sebenarnya. Seperti:

Sebagai ibu, aku tak melahirkanmu dengan tinju dan peluru

Jika kita cermati, tentulah maksud dari penggalan puisi tersebut, bukanlah seorang ibu yang melahirkan, menggunakan tinju dan peluru, untuk membantunya segera melahirkan anaknya. Namun ada makna lain di balik kata ‘tinju’ dan ‘peluru’ tersebut. Bahkan kata ‘ibu’ dalam penggalan tersebut pun, dapat saya tangkap bukanlah ‘ibu’ dalam arti seseorang yang telah melahirkan dan menyayangi anak-anaknya. Namun, merupakan ibu pertiwi, atau pada hakikatnya merupakan negeri kita sendiri. Apabila diumpamakan negeri ini sebagai sosok yang hidup, yang dapat memiliki rasa, negeri kita ini adalah seorang ibu, sedangkan seluruh bangsa Indonesia adalah anak-anaknya. Sedangkan ‘tinju’ dan ‘peluru’ merupakan gambaran betapa sudah carut-marut negeri ini, sehingga menghasilkan begitu banyak generasi yang senang melakukan segala sesuatunya dengan kekerasan, yang meretakkan keharmonisan bangsa.
Selain itu terdapat pula penggalan:

Darah anak-anakku dengan masa depan yang jingga dan gemuruh!

Masa depan yang jingga dan gemuruh. Jika melihat beberapa pemaknaan terhadap warna jingga atau yang lebih dikenal dengan oranye, jingga adalah warna yang menggambarkan keceriaan, kegembiraan, serta rasa humor. Namun, warna tersebut juga menandai ketidaktahuan, serta kebimbangan. Dari pemaknaan-pemaknaan terhadap warna jingga di atas, dengan kaitannya dengan makna warna jingga itu sendiri dalam puisi ‘Surat Belasungkawa’, akan lebih tepat jika jingga dimaknai dengan suatu keadaan penuh ketidaktahuan serta kebimbangan. Tepatnya, ketidaktahuan dan kebimbangan ibu pertiwi terhadap nasib bangsa yang semakin terpuruk.

Lalu dari aspek pragmatik, kental terasa pada bait terakhir puisi ini, yang berbunyi:

Dengan darah siapa lagi
tubuh ibumu mesti dicuci
dengan kobaran api macam apa lagi
kotoran di jantungku mesti dibasmi.
Dengan airmata siapa lagi, ketakutan
dan erang luka siapa lagi, baru negeri ini
bisa berdiri seperti layaknya sebuah negeri
tanpa kekerasan yang membikin aku, ibumu
bergidik ngeri menangisi nasib
anak-anaknya sendiri.

Sebenarnya, isi dari bait terakhir ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tertuju kepada bangsa kita. Apakah dengan berbagai pertanyaan yang menyayat hati tersebut, bangsa kita akan terenyuh, lalu menyadari apa saja yang seharusnya mereka kerjakan dan mereka perbaiki demi negeri mereka? Bait terakhir ini memancing respon dari pembaca, terhadap pikiran seorang Agus R. Sarjono yang tertuang secara gamblang dalam ‘Surat Belasungkawa’, yang merupakan benar-benar ungkapan belasungkawa dirinya, atas nasib bangsa dan negeri kita tercinta.

Kesimpulan

Puisi ‘Surat Belasungkawa’ karya Agus R. Sarjono merupakan salah satu karya yang di dalamnya penuh akan simbol yang apabila terpecahkan, akan menjadi suatu pesan moral yang penting untuk diketahui pembacanya. Meski pun bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang sulit, namun makna sesungguhnya yang terdapat dalam puisinya haruslah dikaji lebih mendalam, agar pemahaman yang didapat oleh pembaca pun tidak menjadi setengah-setengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar