Kamis, 24 Februari 2011

Hancur

Jika pagi ini adalah pagi terakhir,
betapa hancur!
Aku tak punya bekal!
Dan aku tak punya muka!
Bagaimana bisa menghadap-Nya?
Sedang aku sendiri malu pada rupaku.
Tak ada cahaya.
Tak ada rona.
Tak ada warna.
Kusam, kotor, seperti cucian yang kutumpuk seminggu lalu.
Jika ini kali terakhirku berkeluh kesah, bagaimana dengan sisa sisa masalahku?
Pasti mengendap dan membuat hatiku beku.
Lalu, bagaimana aku harus berlaku di hadapan-Nya?
Sedang aku terlalu hancur seperti ini.

Sekarang, sebelum siang menjelang, aku berdoa.
Tuhanku yang Maha Segala, beri aku kesempatan memperbaiki kehancuran ini, sebelum kita bertemu.
Amin.

25.02.2011

Kamis, 03 Februari 2011

Sakit

Aku tahu
sakit itu kebalikan dari sehat.
Aku pun tahu
sakit itu jauh tidak lebih enak dari sehat.
Sakit
saat tenaga seperti diserap habis.
saat imun tubuh tak mampu mempertahankan diri.
saat ini,
aku sakit.

Bdg, 4 Februari 2011.

Rabu, 12 Januari 2011

Sedikit Saja Tentangku


Saat ini, aku selangkah lagi menjadi mahasiswi semester empat. Sudah satu setengah tahun aku merasakan bagaimana hidup jauh dari orang tua. Ngekost. Makan, minum, nonton tv sendiri. Sakit, sehat, sedih, seneng, kubagi pada teman. Karena aku hanya bisa mendengar suara nenek yang sudah merawatku lewat telfon. Kalau kata temanku, hidup sebagai anak kost, berarti menjadikan teman sebagai keluarga. Karena kita memang jauh dari keluarga.
Hmm, semua itu pembelajaran buat aku. Aku yang manja. Aku yang gak pernah jauh dari keluarga. Kini sudah waktunya melatih kemandirian. Hitung-hitung latihan, kelak kan jadi ibu rumah tangga! :D

Nah, sekarang beralih ke asmara.
Rasanya bicara tentang cinta, sudah sangat biasa ya?
Jangankan untuk orang seusiaku, seusia adikku yang duduk di kelas lima SD saja, rasanya sudah sering kita dengar.
Aku memang tidak mau pacaran. Aku ingin ta'aruf saja. Kalau cocok, nikah deh!
Tapi..
Aku perempuan biasa. Melihat teman-temanku merenda cinta dengan laki-laki pujaannya, terkadang aku iri.
Terkadang aku pikir, apa mungkin aku juga akan mendapatkan pasangan (suami), yang aku cintai?
Jujur saja, selama kuliah ini, aku juga menaruh hati pada seseorang.
Seseorang, yang hanya tiga temanku yang tahu siapa dia.
Tapi, aku tak berani b

erharap. Teman-temanku juga tahu itu.
Aku tak menaruh harap. Hanya, aku ingin menjadikan 'dia' sebagai salah satu semangatku kuliah!
Ya, karena 'dia' itu anak UPI juga. Jadi, aku bisa melihatnya setiap hari!

"Masa muda, masa yang berapi-api!"
Kutipan lagu raja dangdut itu akhir-akhir ini sering terlintas di pikiranku. Semoga semangatku menggapai asa ini memang kan selalu berapi-api.
Semangat!
Hidup para pemuda!


Bandung, 12 Januari 2011

Salam, Lestari.

Senin, 10 Januari 2011

untitle

Malam ini
terlalu banyak kata
tenggelam oleh tangis suara
tak ada cahaya
membuat mata tak mampu menangkap kebenarannya

Lalu
di mana kita?
Antara himpit deru derita
tak bisa apa-apa

Pegal Linu

Uh!
sakit semua badanku
rasanya ngilu
mungkin pegal linu
kakiku kaku-kaku
lucu!
padahal aku tak berlari?
berjalan saja aku sudah tak sanggup berlama lagi
apa karena aku sudah menua?
tapi, belum duapuluh juga
aku muda, hei!!
mungkin turunan dari nenekku?
bukankah ada penyakit yang diturunkan itu?
apakah juga dengan pegal linu???

Hai Kawan! (Di Warnet Sore Hari)

Hai kawan!
sesorean sudah kita bersama
kau dengar keluh kesahku jua
kau buat aku bersabar
di antara huruf-huruf dalam keyboard usang warnet dekat kost teman kita

Hai kawan!
ayo lekas kita pulang
urat kaki sudah meminta diluruskan
jangan sampai lepas!
kasihan...

Kajian "Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma" oleh Liestia Lestari

Judul : dari ave maria ke jalan lain ke roma
Jenis : Kumpulan Cerpen
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, cetakan pertama 1948; cetakan kedua
puluh empat 2008.

1. AVE MARIA
1.1. Ikhtisar
Kehidupan rumah tangga Zulbahri dengan Wartini sebelumnya baik-baik saja. Tanpa ada prasangka satu sama lain. Namun, kehidupan rumah tangga yang berjalan harmonis itu mulai terusik sejak kehadiran Syamsu, adik Zulbahri, yang dulu sempat menaruh hati pula pada Wartini. Syamsu yang merasa tidak betah bersekolah di Shonanto, memutuskan untuk pindah ke Sekolah Tabib Tinggi di Jakarta, dan ia tinggal di rumah Zulbahri. Kedatangan Syamsu membuat perasaan Zulbahri tidak karuan. Karena bagaimanapun, Syamsu dan Wartini pernah saling mencintai.
Sejak kedatangannya di rumah Zulbahri, Syamsu dan Wartini terlihat semakin dekat. Zulbahri merasa, sebenarnya laki-laki yang pantas untuk mendapatkan Wartini adalah Syamsu, bukan dirinya. Kegundahan hati Zulbahri pun disampaikannya pada istrinya. Namun istrinya meyakinkan bahwa ia hanya mencintai Zulbahri seorang. Sedangkan Syamsu hanyalah teman mainnya sewaktu kecil. Hanya cinta monyetnya.
Namun ucapan Wartini tersebut tidak membuat Zulbahri begitu saja percaya. Karena yang ia lihat, justru mengatakan hal yang sebaliknya. Wartini semakin dekat dengan Syamsu. Mereka sering bermain musik bersama-sama. Wartini bermain piano, dan Syamsu bermain biola. Di suatu malam, mereka berdua memainkan lagu Ave Maria karangan Gounod. Zulbahri yang sedang sakit kepala pun mengacuhkannya dan pergi tidur. Wartini dan Syamsu memainkan lagu tersebut dengan penuh perasaan. Setelah lagu itu selesai dimainkan, Wartini pun menangis. Ia terkenang saat-saat ia memainkan lagu tersebut bersama Syamsu di masa yang lalu. Ia terkenang kisah cintanya bersama Syamsu. Ia berbicara banyak pada Syamsu akan kenangan indah itu, dan sempat bertanya pada Syamsu, mungkinkah jika seorang perempuan mencintai dua orang laki-laki sekaligus.
Tanpa Wartini dan Syamsu sadari, Zulbahri mendengar percakapan mereka. Zulbahri pun berbicara pada Syamsu, bahwa Wartini seharusnya menjadi miliknya. Setelah kejadian itu, Zulbahri pun pergi ke Malang. Ia mencoba menghapus semua ingatannya tentang Wartini. Namun ia tidak mampu melakukannya. Di Malang, Zulbahri bahkan tidak pernah memperhatikan kesehatannya. Ia sempat masuk rumah sakit selama tiga bulan. Setelah keluar dari rumah sakit, ia mencoba kembali ke Jakarta. Bermaksud melihat keadaan Wartini. Namun, apa yang dilihatnya membuatnya sangat terpukul. Ia melihat Wartini dengan Syamsu. Mereka sedang memainkan lagu Ave Maria bersama. Mereka tampak bahagia, dan Wartini pun sedang hamil. Zulbahri kemudian melampiaskan luka di hatinya pada buku. Ia banyak membaca buku. Hingga ia bertemu dengan sebuah keluarga. Keluarga yang rutin ia temui hampir setiap minggu, dan menjadi tempatnya menceritakan semua kisahnya. Di akhir pertemuannya dengan keluarga itu, Zulbahri memberikan sebuah surat pada ayah di keluarga itu, disampaikannya dalam surat itu, bahwa Zulbahri telah masuk ke dalam barisan jibaku untuk membela nusa dan bangsa.

1.2. Alur
• Pernikahan Zulbahri dan Wartini berjalan mulus, tanpa adanya saling mencurigai
• Adik Zulbahri, Syamsu, pindah ke rumah Zulbahri dan berniat melanjutkan sekolah di Jakarta
• Syamsu dan Wartini semakin dekat satu sama lain
• Syamsu dan Wartini sering memainkan lagu Ave Maria bersama-sama
• Syamsu dan Wartini mengenang kebersamaan mereka dulu, yang saling mencintai
• Wartini mengakui bahwa dirinya mencintai Zulbahri namun tidak dapat melupakan Syamsu
• Zulbahri mendengar percakapan antara Syamsu dan Wartini
• Zulbahri berbicara dengan Syamsu bahwa yang sepantasnya hidup bersama Wartini adalah Syamsu
• Zulbahri pergi dari rumah menuju kota Malang
• Kehidupan Zulbahri tidak karuan di Malang
• Zulbahri kembali ke Jakarta
• Zulbahri melihat bahwa Syamsu dan Wartini telah hidup berbahagia
• Zulbahri kembali berkelana, menumpahkan kesedihannya dengan banyak membaca buku
• Zulbahri bertemu dengan sebuah keluarga yang bisa menjadi tempat baginya untuk berbagi cerita
• Zulbahri memutuskan untuk menjadi barisan jibaku

1.3. Tokoh/Penokohan
1) Zulbahri adalah seorang penyair muda. Memiliki perasaan yang sensitif dan mudah terguncang. Memiliki keinginan yang kuat untuk bangkit, untuk turut andil dalam membangun bangsanya.
2) Wartini adalah istri Zulbahri. Seorang wanita egois dan plinplan.
3) Syamsu adalah adik Zulbahri. Orang yang memiliki kepercayaan diri, dan berjiwa optimis. Tidak berperasaan karena merebut istri kakaknya sendiri.
4) Tokoh ‘aku’
5) Ayah ‘aku’
6) Ibu ‘aku’
7) Adik ‘aku’
Berdasarkan peranannya dalam alur, tokoh utama adalah Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Ketiga pelaku itulah yang menciptakan atau terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang menjadi unsur alur cerita.


1.4. Latar
Cerpen Ave Maria ini berlatar kota Jakarta pada saat zaman pendudukan Jepang. Latar tempat yang digunakan adalah rumah Zulbahri seperti dalam kutipan cerita di bawah ini.
“Sekali, malam-malam, Wartini dan Syamsu memainkan lagu ‘Ave Maria’ karangan Gounod. Aku waktu itu sedang sakit kepala sedikit dan tidur saja dalam kamarku.” (Idrus, 2008: 6)
Latar waktu yang pengarang gunakan dalam penceritaan cerpen ini adalah malam hari, seperti dalam kutipan cerita di bawah ini.
“Bulan purnama mulai naik perlahan-lahan, memancarkan sinarnya melalui daun-daun jarak di pekarangan itu.” (Idrus, 2008: 4)
Latar suasana dalam cerpen ini adalah menyedihkan, seperti dalam kutipan cerita di bawah ini.
“Kami terharu dan kasihan mendengarkan cerita Zulbahri itu. Ia menengadahkan ke langit yang bertaburan bintang itu. Air matanya tergenang.” (Idrus, 2008: 8).

1.5. Tema
Tema dari novel ini adalah tentang percintaan, yang menitik beratkan tidak boleh merebut cinta orang lain.

1.6. Tipe
Cerpen Ave Maria dapat dimasukkan ke dalam tipe cerpen sosial sebab cerpen ini bercerita tentang hubungan seseorang manusia dengan sesamanya.


1.7. Nilai
Cerpen Ave Maria ini mengandung nilai romantisme, karena menceritakan tentang hubungan percintaan.

1.8. Fungsi dan Pengalaman
Pengalaman yang didapat setelah membaca cerpen ini adalah merasa tidak setuju dengan tindakan tokoh Zulbahri. Karena akibat dari keputusan yang diambil oleh Zulbahri, membuat Wartini dan Syamsu mengambil keputusan yang salah pula. Ini termasuk kedalam pengalaman moral.

2. JALAN LAIN KE ROMA
2.1. Ikhtisar
Tidak banyak yang dapat diceritakan dari seorang Open. Perawakannya, tidak berbeda dari kebanyakan orang lain. Namun, nama Open itulah yang memiliki riwayat tersendiri. Dulu, ayah dan ibunya sempat hendak bertanya pada dukun, perkara nama yang tepat bagi anaknya. Namun, hal itu dibuang jauh-jauh dari pikiran ayah dan ibu tersebut. Lalu mereka hendak memberi nama Ali pada anaknya. Namun mereka ingat, Ali tetangganya ialah seorang penjudi dan pengadu ayam. Mereka tidak mau anaknya menjadi seperti itu. Maka mereka pun tidak memberi nama Ali pada anaknya.
Pada suatu hari, ayah itu bermimpi tentang kota New York. Namun entah kenapa, ia seperti mendengar kata Openhartig (Bahasa Belanda) yang berarti terus terang atau jujur. Ketika sang ayah menceritakan hal itu pada istrinya, istrinya merasa mungkin itu adalah petunjuk dari Tuhan tentang perkara nama anak mereka. Maka, anak itu pun diberi nama Open. Karena riwayat dari namanya ini, Open berjanji untuk mengabulkan impian ibunya, bahwa ia akan selalu menjadi orang yang selalu berterus terang.
Suatu hari, Open menjadi seorang guru. Karena keterusterangannya, Open sering terlalu polos menceritakan pengalaman hidupnya pada semua muridnya. Termasuk menceritakan saat ia bertengkar dengan istrinya, hingga istrinya membawa-bawa golok sambil mengejarnya. Setelah menceritakan itu, murid-murid Open sering meledek Open sebagai suami yang tidak berani terhadap istri. Bahkan murid-murid menyebut Open dengan julukan ‘Guru golok’ yang kemudian diplesetkan menjadi ‘Guru goblok’. Makin lama Open tidak tahan atas perilaku murid-muridnya. Ia pun menghukum salah satu murid dengan memukulnya. Open pun dikeluarkan dari sekolah.
Setelah itu, muncul keinginan di hati Open untu menjadi seorang mualim. Ia banyak membaca buku-buku agama. Namun, karena lamanya ia menganggur, istrinya pun tidak tahan. Saat Open sedang membaca Al-Quran, istrinya datang menanyainya perihal permasalahan yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Open pun menjelaskan semuanya tanpa ada yang ditutupi sedikitpun. Istrinya marah, dirobeknya Al-Quran yang sedang dibaca Open, lalu dibakarnya. Perkelahian pun terjadi. Open meninggalkan istrinya. Ia kembali ke desa. Ke rumah orang tuanya.
Di desa, Open bertemu dengan Surtiah. Gadis desa yang membuatnya jatuh hati. Di desa ini, Open menjadi seorang guru mengaji. Dalam perjalanannya menjadi guru mengaji ini, Open kembali beristri. Ia memperistri Surtiah. Pada suatu hari, Open mengajak Surtiah pindah ke kota. Di kota itulah, Open bertemu dengan seorang mualim yang berbeda dari yang lain. Dari mualim itu, Open belajar banyak. Terutama, ia belajar menulis. Ketika ia sedang serius menulis, ia bahkan menyuruh istrinya untuk tidak mengganggunya dan kembali ke desa. Tulisan-tulisannya yang berbicara tentang bangsa Indonesia yang berada dalam kekuasaan Jepang, sempat membawa Open masuk penjara. Dalam penjara itulah Open sadar akan arti kemerdekaan. Jika ia dipenjara seperti itu, maka ia telah kehilangan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, Open pun dilepaskan. Dalam hatinya ia berjanji, tidak akan membuat tulisan-tulisan seperti tulisan-tulisannya dulu. Ia tetap berniat menulis. Selain menulis, ia pun mencoba berbagai pekerjaan lain, diantaranya menjadi seorang penjahit. Karena ia merasakan semuanya telah berjalan dengan stabil, ia mengirim surat pada Surtiah di desa, untuk segera pulang dan kembali bersamanya. Surtiah pun kembali ke kota. Ia menemani Open, dan Surtiah melihat perubahan yang telah terjadi pada suaminya setelah suaminya tersebut keluar dari penjara.

2.2. Alur
• Open terlahir ke dunia
• Orang tua Open berusaha mencari nama yang paling tepat bagi puteranya
• Ayah Open bermimpi tentang kota New York dan sering mendengar ucapan-ucapan “Openhartig”
• Ibu Open menganggap hal itu adalah petunjuk
• Ibu Open memutuskan untuk memberi nama puteranya, Open
• Open tumbuh menjadi anak yang selalu berterusterang, seperti apa yang diminta oleh ibunya
• Open tumbuh dewasa dan menjadi seorang guru sekolah rakyat
• Open menceritakan tentang pertengkarannya dengan istrinya di kelas
• Seluruh siswanya meledek Open
• Open memukul salah satu siswa
• Open dipecat dari pekerjaannya
• Open menjual sepeda antik miliknya lalu membeli sebuah Al-Quran terjemahan
• Open berniat menjadi seorang mualim
• Istri Open merasa kesal karena suaminya terus menjadi pengangguran
• Istri Open merobek Al-Quran yang sedang dibaca Open
• Open marah lalu meninggalkan istrinya dan kembali ke desa
• Di desa Open bertemu dengan Surtiah
• Open menjadi guru mengaji di desa
• Open menikah dengan Surtiah
• Open dan Surtiah pergi ke kota
• Open bertemu dengan seorang mualim yang berbeda dengan mualim lain yang pernah ia temui
• Open terinspirasi menjadi seorang penulis
• Open mulai menulis dengan tulisan yang cenderung bersifat keras
• Open belum juga mendapatkan pekerjaan
• Open menyuruh Surtiah pulang ke desa karena dirasa selalu mengganggunya
• Tulisan Open sempat diterbitkan
• Pihak Jepang merasa salah telah menerbitkan tulisan Open, karena tulisan Open dinilai mengancam pihak Jepang
• Open diinterogasi dan disiksa di dalam penjara
• Setelah kemeerdekaan Indonesia, Open dilepaskan
• Open menulis lagi, namun tidak dengan tulisan yang keras seperti dulu
• Open sempat pula menjadi penjahit
• Open menyuruh Surtiah untuk kembali menemaninya

2.3. Tokoh/Penokohan
1) Open adalah seorang yang sangat jujur dan polos. Pekerjaannya berubah-ubah, mula-mula menjadi guru, mualim, pengarang, dan terakhir tukang jahit.
2) Surtiah adalah istri kedua Open. Patuh pada suami, setia, bersahaja.
3) Ibu Open adalah bijaksana, sangat menyayangi Open.
4) Ayah Open adalah seorang Ayah yang baik.
5) Mualim kota adalah seorang yang cerdas, banyak membarikan pelajaran kepada Open.

2.4. Latar
Cerpen Jalan Lain Ke Roma berlatar tempat di sebuah desa yang merupakan tempat kelahiran Open. Tapi desa tersebut tidak disebutkan namanya dengan jelas, seperti dalam kutipan cerita di bawah ini.
“Desa itu seperti desa-desa lainnya, tidak punya penerangan, tidak punya toko buku, dan tidak punya kamar kecil.” (Idrus, 2008:157).
Latar tempat kedua adalah kota tempat Open merantau seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Pada suatu hari Surtiah dibawa Open ke kota. Di sini mereka bertemu dengan seorang mualim pula.” (Idrus, 2008:161).
Latar waktu dalam cerpen ini lebih banyak bercerita pada waktu malam hari, seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Malam-malam sebelum tidur bayangan-bayangan mengejar dia.” (Idrus, 2008:170).
Latar suasana dalam cerpen ini adalah mengharukan. Ini terdapat pada penggalan cerita saat Open mulai menyadari keegoisannya dulu, dia hanya memikirkan dirinya dan karangan-karangannya. Open kemudian menulis surat kepada Surtiah untuk kembali ke kota (Idrus, 2008:171).
2.5. Tema
Tema cerpen Jalan Lain ke Roma adalah lika-liku kehidupan manusia untuk mencari jati dirinya yang sesungguhnya.

2.6. Tipe
Cerpen Jalan Lain ke Roma dimasukkan ke dalam tipe sosial tidak jauh berbeda dengan cerpen Ave Maria, sebab cerpen ini bercerita tentang hubungan seseorang manusia dengan sesamanya.

2.7. Nilai
Nilai yang terkandung dalam cerpen ini adalah nilai kehidupan sebab cerita dalam cerpen ini menggambarkan tentang lika-liku kehidupan dan segala makna berharga yang terkandung di dalamnya.

2.8. Fungsi dan Pengalaman
Cerpen ini memaparkan bahwa menjalani kehidupan di dunia ini dengan menerapkan kejujuran itu tidaklah mudah, sebab tidak semua orang dapat menerima kejujuran tersebut. Ini termasuk ke dalam pengalaman informatif.

Kajian Cerita Pendek dengan Pendekatan Sosiologi Sastra oleh Liestia Lestari

KAJIAN CERPEN ‘LANGKAH HARUN’ KARYA MUTAMINAH CALON PENULIS (NAMA PENA) MELALUI PENDEKATAN SOSIOLOGIS

I. SOSIOLOGI SASTRA

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi memiliki arti, ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang memelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sedangkan sastra memiliki arti, kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Kedua ilmu ini, memiliki objek yang sama, yaitu manusia.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956-1984, 1990:111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut:
 Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. (Wellek dan Warren, 1990:112)
 Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial (1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra memiliki kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya, sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
 Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkannya dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4), yang meliputi hal-hal berikut:
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti, yang berkaitan dengan: a) Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, b) Profesionalisme dalam kepengaranganya, dan c) Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi karya sastra sebagai cermin masyarakat adalah: a) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan cermin masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, b) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, d) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan 1) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak, 2) Sastra sebagai penghibur saja, dan 3) Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

Dari pengertian-pengertian sosiologi sastra menurut beberapa ahli di atas, dapat saya simpulkan, bahwa sosiologi sastra erat kaitannya dengan kehidupan sosial yang terjadi pada penulis (yang mempengaruhi proses penulisan sebuah karya sastra), maupun segi sosial yang benar-benar dicerminkan penulis dalam karyanya (lepas dari segi kemasyarakatan yang berhubungan langsung dengan penulis).


II. CERPEN ‘LANGKAH HARUN’

Langkah Harun

Di kamar kontrakannya yang sempit dan gelap, Harun gelisah tak menentu. Kadang dia berjalan mondar-mandir seperti setrikaan, kadang duduk, dan kadang berbaring sembari menatap langit-langit kamarnya yang telah usang. Wajahnya tegang seperti digelayuti beban ratusan kilogram. Setiap tingkah polahnya terlihat gugup. Udara panas yang telah melingkupinya tak terasa sedikit pun oleh harun.
“Aku tidak boleh diam saja di sini!” gumam Harun pada dirinya sendiri, tangannya mengepal menggenggam udara. Akhirnya Harun bergegas keluar dari rumahnya itu. Teriakan istrinya yang bertanya kemana Harun akan pergi, tak diindahkannya sama sekali.
Harun berjalan tergesa-gesa menyusuri jalanan-jalanan kampung yang gersang. Meski begitu, ia sama sekali tak tahu kemana tujuan langkahnya itu. Sementara otaknya terus berpikir keras mencari jalan keluar akan masalah pelik yang tengah dihadapinya.
Tak ada rasa lelah sama sekali yang dirasakan Harun, meski dirinya telah berjalan beberapa kilometer jauhnya. Begitu pun sinar mentari yang menyengat memanggang kulitnya yang kering dan mulai keriput, semuanya hanya seperti satu penghalang sepele yang tak berarti bagi Harun.
Kakinya yang beralaskan sandal karet terus menapak aspal. Baju kumalnya mulai basah menyerap keringat yang mengucur deras dari tubuhnya. Tapi tak juga ada titik terang yang ditemukan Harun.
Di suatu masjid, akhirnya Harun beristirahat. Pikirannya mengawang jauh meninggalkan dirinya yang malang itu. Di hatinya, dialog dengan Tuhan tengah digelar.
“Ya Tuhaaaan... Lihatlah hamba-Mu ini, kalau benar Kau ada, tolong bantu aku Tuhan. Katanya Kau Maha Melihat, masa Kau tidak melihat aku kesusahan seperti ini? Katanya Kau Maha Pengasih, tapi Kau tega sekali membiarkan aku dirundung masalah nyawa seperti ini? Apakah Kau menghendaki aku menjadi pembunuh duhai Tuhanku? Ohhh Tuhan, apakah orang miskin seperti aku ini tak layak memasuki satu saja pintu syurga-Mu dan menetap di dalamnya? Ya Tuhan... Aku kan juga ingin menjadi seperti Muhammad yang memuliakan Khadijah. Tapi apalah dayaku ini, aku hanya pengangguran yang bernasib sangat liar.
Begitulah terus dialognya dengan Sang Pencipta bergulir, hingga bosan dia menggerutu sendir dalam hatinya, sedang Tuhan tak jua menjawab dan menegurnya, setidaknya menghibur sedikit dengan mengingatkan bahwaroda akan berputar. Lalu dia kembali berdiri. Menghela nafas panjang, tanda dia siap kembali menyusuri jejak kasih sayang Tuhan itu.
Kini dia kembali mengayunkan langkah mencari sepotong harapan. Matanya lebih tajam mencari secuil kesempatan, “siapa tahu tersembunyi, hingga aku tak melihatnya”, yakinnya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba dia melihat sebuah kerumunan yang sangat padat di pelataran parkir sebuah gedung yang elok dipandang. Manusia-manusia berjejalan tak lagi menyisakan ruang untuk sekedar menyelusup ke sela-selanya. Mereka semua seperti kesetanan di siang bolong begini. Dengan perasaan yang bertanya-tanya akhirnya Harun mendekati kerumunan itu juga, tapi dia tak tahu, kerumunan apa itu sebenarnya?
“Pak, ini ada apa ya?” Tanyanya pada seorang satpam yang tampak sangat kerepotan mengamankan kerumunan itu. “Pembagian beras gratis.” Jawab Pak Satpam dengan muka garang.
***
Dua jam berlalu. Senyum puas tersungging di bibir Harun. Dijinjingnya sebuah keresek hitam. Jalanan itu kini kembali dilaluinya, tapi dengan hati yang lapang, bukan dengan hati yang resah tak menentu. Kerumunan orang itu semakin menjauh, hingga akhirnya teriakan-teriakan histeris yang menyelimutinya, tak lagi didengar Harun.
***
“Astagfirullahal’adzim... kenapa pak? Kenapa muka bapak bonyok begini? Lihat sekujur tubuh bapak memar begini! Bapak dipukuli orang? Kenapa pak?” ceracau istri Harun ketika melihat suaminya pulang dengan luka memar di tubuhnya. Dengan khawatir dia memeriksa keadaan Harun.
Harun dengan nada bangganya menjawab “Lihat Bu, betapa gagah suamimu ini karena telah menyelamatkanmu dan anak kita dari kematian karena kelaparan. Masaklah beras 1 kilogram ini, kulihat masih ada garam di dapur agar nasinya tak terasa hambar. Aku hebat kan, Bu?”

01 Oktober 2010



Sumber:
http//balaicerita.blogspot.com
balaicerita@gmail.com
Langkah Harun, oleh; Mutaminah Calon Penulis

III. KAJIAN CERPEN ‘LANGKAH HARUN’ DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
Wellek dan Warren (1956-1984, 1990:111) membagi hal yang diteliti oleh pendekatan sosiologi sastra menjadi tiga bagian. Namun pada kajian cerpen ‘Langkah Harun’ ini, saya akan lebih mengkaji sosiologi sastra melalui:
 Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial (1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra memiliki kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya, sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban.

Cerpen ‘Langkah Harun’ seperti yang dicantumkan di atas, memiliki tokoh utama, yaitu Harun. Harun digambarkan sebagai seorang pengangguran yang hidup dalam keluarga yang perekonomian keluarganya sangat buruk. Bahkan, Harun diceritakan hampir putus asa terhadap keadaan ekonomi yang semakin buruk dalam keluarganya. Untuk sekedar mencari nasi bagi anak dan istrinya saja, Harun sudah sangat kebingungan. Hingga akhirnya, Harun mencoba mencari jalan keluar untuk memberi makan anak dan istrinya, meski ia pergi pun tanpa arah dan tujuan yang pasti.
Tokoh Harun seperti dalam cerpen ini, tampaknya merupakan cerminan bagi sebagian besar masyarakat di negara kita, yang hingga kini hidup dalam kemiskinan. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,14% ( www.bps.go.id ). Selain itu, jumlah pengangguran pun tidak kalah tingginya. Pada tahun 2009, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta orang atau sekira 22,2% adalah pengangguran. Bahkan dua juta orang dari data pengangguran tersebut, merupakan lulusan diploma dan universitas. Data ini merupakan hasil survei tenaga kerja nasional, Badan Perencanaan Nasional/Bappenas ( www.kompas.com ).
Indonesia yang hingga kini masih berstatus sebagai ‘negara berkembang’, tampaknya belum dapat mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran ini. Karenanya, tidak heran akan banyak ‘Harun-Harun’ lain yang dapat kita temukan di pinggir jalan, kolong jembatan, bantaran sungai, dan lain sebagainya.
Cerpen ‘Langkah Harun’ ini, merupakan potret nyata sebagian besar masyarakat Indonesia, yang masih akrab dengan kemiskinan. Begitu jelas penggambaran kemiskinan ini pada tokoh Harun. Bagaimana frustasi dan susahnya seorang Harun dalam menghadapi kehidupannya. Penulis mungkin melihat keadaan masyarakat sekelilingnya yang masih berada dalam taraf kemiskinan. Karenanya, cerpen ‘Langkah Harun’ ini tercipta.
Saya pribadi tidak dapat mengkaji sosok penulis dari sudut kemasyarakatannya. Dikarenakan, penulis hanya mencantumkan nama penanya. Sehingga saya tidak dapat mengkaji sisi kemasyarakatan yang mungkin mempengaruhi penulis dalam pembuatan cerpen ‘Langkah harun’ ini.
Namun dari sisi kemasyarakatan yang ada (kehidupan nyata), dengan keadaan Harun dalam cerpen ini, memiliki hubungan yang erat. Sehingga, saya dapat menyimpulkan bahwa, cerpen ‘Langkah Harun’ dengan tokoh utama Harun ini, dapat dikatakan sebagai cerminan atau potret masyarakat Indonesia yang masih berada dalam taraf kemiskinan.
.

Sore

Soreku tak secerah dulu
soreku tak ada senyum lagi
soreku berganti
tangis pilu menusuk ulu hati
ah!
tragis hidup ini!

Dear Diary

18 Januari 2010

Dear my old diary...

Hmm, sudah 15 tahun sejak terakhir kali aku menulis disini.. 18 Januari 1995. Kini, di tanggal yang sama, tahun 2010. Ah, entah mengapa tiba-tiba, aku ingin mencurahkan isi hatiku disini. Untung, sejak kepindahanku dari rumah yang lama, kau selalu kusimpan di tasku. Jadi, kau tetap ada.

15 tahun Diary.. Bukan waktu yang singkat ya? Terakhir aku menulis isi hatiku, aku masih duduk di kelas 3 SMP. Ah! Bocah ingusan yang bangga pada cinta monyetnya!
Kini.. Aku bermetamorfosis menjadi wanita dewasa. Hei, bahkan kini aku sudah menjadi istri, dan seorang ibu!! :D
Lima tahun lalu aku menikah dengan pria pilihan hatiku. Mas Farhan. Kini, aku pun sudah memiliki dua buah hati. Aretha (4th) dan Zetha (1th).
Sebenarnya aku sempat ragu ketika hendak menulis diary lagi.. Apa tidak kekanakan ya? Untuk wanita 30 tahun sepertiku, masih curhat di diary? Diary bergambar Hello Kitty pula! Haha.. Aku merasa lucu sendiri dengan tingkahku.
Ah, tak apalah. Anggap saja sedang bernostalgia dengan masa putih-biru!

Diary..
Aku benar-benar pandai menyimpan kesedihan ya? Kenapa aku masih sempat terkesan ceria dan bahagia di awal tulisanku ini? Padahal.. Masalah sebenarnya yang ingin kutulis, jauh dari kebahagiaan. Jauh dari kebahagiaan hidupku..

Diary.. Lusa ulang tahun pernikahanku dan mas Farhan yang ke-5. Harusnya.. Harusnya hari itu menjadi hari yang bahagia. Bagi pasangan lain, mungkin di anniversary-nya, akan mengadakan candle light dinner, atau bahkan bulan madu ke-2. Tapi bagiku dan mas Farhan? Di hari (yang seharusnya bahagia) itu, kami justru akan berada di pengadilan, mengurus proses perceraian kami.
Keretakan rumah tangga kami sudah terasa sejak tahun ke-3 kami membina rumah tangga. Tapi, aku mencoba untuk terus "buta", "bisu", dan "tuli". Karena itu, kami bertahan hingga menjelang tahun ke-5.

Ahh! Aku tak sadar. Terlalu asyik bercerita padamu, membuatku tak perhatikan waktu. Sekarang sudah pukul 12 malam. Besok pagi, hari pertama Aretha masuk playgroup. Aku tidak boleh kesiangan!
Huft, nanti aku lanjutkan kisahku..
Tapi, sekarang aku harus segera tidur..

Night Diary..
Venitha Maharani Pradana

------------------------

19 Januari 2010

Dear my diary..
I wanna kill them!! My husband and that bitchy girl!
What the??
God... Please give me a strength..
Aku tidak mengerti jalan pikiran suamiku!! Apa maunya, mengajak perempuan itu ke rumah kami?? Tak hanya sekedar mengajak, tapi juga mengajak "bermain" di kamar kami! Kamar mas Farhan dan aku! Bahkan gilanya, Aretha yang sedang kugendong, harus ikut melihat kelakuan bejat ayahnya!!
Aku hanya bisa berlari.. Menyelamatkan putraku dari pemandangan tak senonoh itu!
Dan yang menyakitkan lagi, ketika mas Farhan menyadari kedatanganku, melihatku menangis, dia bukan menghampiriku dan menenangkanku. Setidaknya, mengelus rambutku, dan mengatakan bahwa semuanya hanya mimpi. Ia justru meneruskan "permainannya" dengan wanita, yang akhirnya kuketahui sebagai resepsionis di kantor mas Farhan!

Apakah aku manusia yang begitu hina dina, sehingga sepahit ini kenyataan hidupku?

------------------------------

Putra putriku telah kutitipkan di rumah orang tuaku.. Kini, aku berada hanya semeter dari langit.. Ya! Dari langit..
Dengan ketinggian ini, aku bebas mengedarkan pandanganku.. Tanpa khawatir akan melihat mas Farhan dengan resepsionisnya yang gila itu.

Tuhan..
Maafkan aku..
Kutitipkan Aretha dan Zetha dalam perlindungan-Mu..

-------------------------------

"Iya pak.. Benar. Ini milik sahabat saya.. Venitha."
Aku menutup lembar terakhir diary lusuh milik Venitha. Setahuku, diary ini adalah diary miliknya saat SMP dulu. Tapi, ternyata ia sempat mengisinya kembali. Dengan kisahnya yang tragis, sebagaimana akhir hidupnya yang tak kalah tragis pula.

Aku sudah menghubungi keluarga Venitha di Bandung, mereka sedang dalam perjalanan. Aku pun sudah menghubungi Farhan. Tapi dengan kejamnya, Farhan justru menutup telfon, bahkan saat aku belum selesai bicara.

'Venitha.. Aku benar-benar berduka atas kepergianmu. Kenapa harus jalan ini yang kau ambil? Bagaimana dengan dua jagoanmu yang selalu kau banggakan?? Aretha dan Zetha? Kau tega pada mereka.. Tega padaku! Kau tahu, hari ini seharusnya aku mengantarkan undangan pernikahanku dengan mas Kevin untukmu...'

Aku menangis. Tak percaya Venitha telah meninggalkanku..

"Nona Aluna? Silakan minum dulu. Anda tampak masih sangat shock.."
Polisi yang mengantarku melihat jenazah Venitha tadi sangat baik. Ia sepertinya sangat mengerti kondisiku. Ya, tentu saja aku sangat shock. Melihat jenazah Venitha yang sudah hampir tidak dikenali lagi, merupakan hal yang sangat berat bagiku.


Hari ini, seharusnya diadakan sidang perceraian antara Venitha, Sahabatku, dengan Farhan. Tetapi, rasanya Farhan tidak perlu repot lagi, karena Venitha pun sudah pergi sehari sebelum sidang berlangsung.
Kini, aku sedang duduk di samping pusaramu. Dengan si kecil Aretha di sampingku, dan Zetha di pangkuanku. Mereka belum mengerti, kemana ibunya pergi.
Ve, izinkan aku merawat anak-anakmu.. Orang tuamu pun sudah memberi izin. Mereka lebih rela cucu-cucunya diurus olehku ketimbang oleh ayahnya.

Semoga.. Tuhan mengampunimu atas keputusan bodohmu mengakhiri hidupmu ini Ve..

Bidadari Menangis

Bulan separuh membawa duka
Bidadari menangis di pelanginya
Merah tak lagi merah
Jingga tak lagi jingga
Kuning tak lagi kuning
Hijau tak lagi hijau
Biru tak lagi biru
Nila tak lagi nila
Ungu tak lagi ungu
Semua memudar
Tak ada lagi warna
Pelanginya memudar
Pelanginya hitam putih
Pelanginya kelabu
Semua memudar
Bidadarinya menangis

Saat bulan separuh,
Jaka Tarub curangi sumpahnya
Bidadari menangis
Kembali pada pelangi yang kini kelabu

30 Oktober 2010

Titip Rindu untuk Kakekku

Titip rindu untuk kakekku
entah itu melalui angin, mau pun jejak-jejak langkah para musafir
karena tak bisa kusampaikan sendiri
terlampau jauh jarak
aku tak mampu

titip rindu untuk kakekku
enah itu melalui awan mendung, mau pun melodi yang tercipta dari delapan wajah nada
karena tak dapat kusampaikan sendiri
terlalu banyak beda
aku tak bisa

tapi,
sampaikanlah rindu ini tanpa kurang sedikit pun
sungguh,
terlalu banyak rindu yang belum tersampaikan

tolong sampaikan pada kakekku..

Bandung, 09 Januari 2011

Sebuah Kajian Semiotika

GAMBARAN KEPRIHATINAN IBU PERTIWI ATAS KETRAGISAN NASIB BANGSA
DALAM PUISI ‘SURAT BELASUNGKAWA’ KARYA AGUS R. SARJONO1

Liestia Lestari2

ABSTRAK

Kajian terhadap puisi ‘Surat Belasungkawa’ karya Agus R. Sarjono ini merupakan kajian semiotika yang menafsirkan tanda-tanda yang hanya tersirat dalam setiap kata (komponen bahasa) di dalamnya. Bahasa merupakan suatu sistem yang melambangkan sesuatu. Yang artinya, dalam bahasa tersebut terdapat suatu pengertian, konsep, ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan.
Kajian ini bertujuan untuk mengungkap arti dari lambang-lambang atau tanda yang terdapat dalam puisi ‘Surat Belasungkawa’, yang secara garis besar merupakan penggambaran dari luapan keprihatinan atas berbagai macam kejadian yang terjadi di negeri kita, Indonesia. Puisi ini secara gamblang mengungkapkan keprihatinan yang disampaikan dengan penuh kesedihan, kepedihan, juga ketragisan.
Agus R. Sarjono merupakan salah satu penyair yang seringkali mengangkat tema sosial yang dapat kita jumpai sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat kita. Namun, di balik kata-kata keseharian yang ada dalam puisinya, terdapat berbagai macam tanda yang kemudian salah satunya akan dibahas dalam kajian ini.

Kata kunci: Bahasa sebagai fakta sosial, indeks (sebab akibat), simbol (kesepakatan), signifié (petanda), signifiant (penanda).

Pendahuluan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Untuk terjadinya jalinan kerja sama atau interaksi seperti yang disebutkan dalam pengertian bahasa menurut KBBI tersebut, tentulah bahasa yang digunakan harus sudah memiliki kesamaan arti dan makna bagi pemakainya. Seperti, kata “ibu” memiliki pemaknaan sebagai sosok wanita yang telah mengandung, melahirkan, serta merawat dan menyayangi anaknya hingga akhir hayatnya. Pemahaman tersebut haruslah telah sama bagi setiap pengguna bahasa, agar terjalin komunikasi yang baik.
Hal tersebut di atas berkaitan erat dengan salah satu hakikat bahasa, yaitu bahasa adalah lambang. Oleh karena bahasa adalah lambang, maka ilmu atau kajian semiotika muncul untuk mempelajari lambang atau tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Selama hidupnya, manusia akan terus berinteraksi. Dalam interaksi ini, bahasa akan menjadi sesuatu yang sangat penting, karena dengan berbahasalah maka manusia mampu berinteraksi. Karena itu, bahasa merupakan pengantar bagi manusia untuk bersosialisasi dengan manusia lainnya. Oleh karena peran bahasa tersebut itulah, dalam Saussure untuk Sastra disebutkan, bahasa sebagai fakta sosial.
Durkheim menjelaskan bahwa interaksi antaranggota masyarakat akan menimbulkan pelbagai fenomena seperti adat-istiadat, tradisi, sistem kekerabatan, dan segala macam kaidah perilaku yang secara keseluruhan, dalam perspektif tertentu, merupakan suatu entitas tersendiri. Lalu bagaimanakah bahasa dipandang sebagai fakta sosial? Jika diandaikan, seorang balita menyebut anjing dengan ‘gogog’ karena suara anjing tersebut yang ia dengar adalah ‘gogog’. Namun setelah tumbuh besar dan mulai bersekolah, anak tersebut mulai menyebut anjing dengan ‘anjing’, bukan dengan ‘gogog’ lagi. Hal tersebut karena dalam sosialisasinya dengan lingkungannya, semua orang menyebut ‘gogog’ tersebut dengan ‘anjing’. Karena anak tersebut bersosialisasi, maka ia pun akan menyesuaikan diri dengan bahasa yang digunakan di lingkungan sosialnya.
Ketika seseorang mendengar kata ‘anjing’, dalam benaknya akan muncul gambaran, hewan berkaki empat, dengan lidah yang selalu menjulur, serta hewan yang sangat akrab dengan manusia. Menurut Saussure, gambaran tentang ‘anjing’ tersebut, merupakan signifie atau petanda (sesuatu yang ditandai). Namun ketika seseorang terus berpikir tentang anjing, meski tidak terucapkan oleh bibirnya, namun terus terucap dalam benaknya, itulah yang disebut dengan signifiant.
Seperti yang kita ketahui, kini manusia tidak dapat jauh dari bahasa sastra. Mengapa? Dapat kita lihat, berbagai macam karya sastra kini sangat mudah diperoleh dan dinikmati oleh seluruh kalangan. Baik itu berupa puisi mau pun prosa. Kaitannya dengan lambang atau tanda ini ialah, bahasa sastra, sebagaimana diintroduksi oleh Lotmann (1977: 15), metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya, bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang sarat dengan pesan kebudayaan. Pesan tersebut, tentunya tidak akan tersampaikan dengan baik, apabila pembaca dari pesan tersebut tidak mampu menangkap makna atau arti dari setiap lambang atau pun tanda yang terdapat di dalamnya. Menurut North (1990:42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsir. Tidak ada tanda kecuali diinterpretasikan sebagai tanda.
Maka dalam kajian ini, salah satu puisi karya Agus R. Sarjono akan saya coba kaji berdasarkan kajian semiotika. Berikut adalah puisi ‘Surat Belasungkawa’ karya Agus R. Sarjono:




Surat Belasungkawa

Hujan berhari-hari, begitu derasnya. Basah sudah
daun-daun dan hatiku. Gerangan siapakah
yang meratap begitu rupa. Api berkobar-kobar
menghanguskan jantungku
jantung negeri yang purba.
Peluru berdesingan merobek jiwaku
Jiwa negeri yang nestapa.

Sebagai ibu, aku tak melahirkanmu
dengan tinju dan peluru. Maka anak-anakku, siapa
yang mengajari engkau segala kekerasan ini?
Bahasa dendam dan api. Darah adik-adikmu juga
yang kautumpahkan. Darah anak-anakku
dengan masa depan yang jingga
dan gemuruh!


Dengan darah siapa lagi
tubuh ibumu mesti dicuci
dengan kobaran api macam apa lagi
kotoran di jantungku mesti dibasmi.
Dengan airmata siapa lagi, ketakutan
dan erang luka siapa lagi, baru negeri ini
bisa berdiri seperti layaknya sebuah negeri
tanpa kekerasan yang membikin aku, ibumu
bergidik ngeri menangisi nasib
anak-anaknya sendiri.

1998.


Tanda Menurut Peirce dan Kaitannya dengan Puisi ‘Surat Belasungkawa’

Peirce membagi tiga, hubungan antara tanda dengan acuannya, yaitu ikon (serupa), indeks (sebab akibat), dan simbol (kesepakatan). Dalam puisi Surat Belasungkawa, di bait awal, kental dengan hubungan indeks atau sebab akibat. Seperti:

Hujan berhari-hari, begitu derasnya. Basah sudah
daun-daun dan hatiku

Dapat kita perhatikan, adanya hubungan sebab akibat dari sepenggal puisi Surat Belasungkawa di atas. Hujan berhari-hari, tentunya akan menyebabkan semua benda yang tidak terlindungi menjadi basah. Begitu pula dengan penggalan berikutnya:

Api berkobar-kobar
menghanguskan jantungku

Kobaran api seperti yang tercantum dalam penggalan puisi tersebut, tentulah dalam benak kita sudah tergambarkan, akan menghanguskan apa saja yang berhasil dicapainya.
Meski pun dari kedua penggal puisi di atas, secara semantik tidak masuk akal, seperti air hujan tidak mungkin membasahi hati yang jelas-jelas berada di dalam tubuh manusia, atau kobaran api tidak mungkin akan menghanguskan jantung seseorang. Karena, jantung merupakan organ dalam yang dilindungi oleh tubuh manusia. Kalau pun terbakar, yang akan hangus adalah tubuhnya. Namun di balik ketidaksesuaian makna tersebut, tetap saja penggalan-penggalan tersebut menggambarkan suatu hubungan sebab akibat. Hujan menyebabkan basah. Sedangkan api menyebabkan hangusnya sesuatu.
Sedangkan dari hubungan simbol atau kesepakatan, dalam puisi ini terdapat penggalan seperti di bawah ini:

Sebagai ibu, aku tak melahirkanmu
dengan tinju dan peluru

Dari penggalan tersebut, terlihat bahwa kata ‘ibu’ adalah sosok seseorang yang telah melahirkan kita. Sehingga terjadi kesepakatan dalam bahasa kita (Indonesia), bahwa kata ‘ibu’ adalah sosok wanita yang telah melahirkan kita.
Sedangkan dari hubungan ikon atau serupa, dalam puisi ini, saya tidak menemukan hubungan tersebut di dalamnya.
Tanda Menurut Zaimar dan Kaitannya dengan Puisi ‘Surat Belasungkawa’

Menurut Zaimar (1991), kajian semiotika dalam sebuah karya sastra hendaknya diawali dengan tiga tahap, yaitu: mengkaji dari aspek sintaksis, mengkaji dari aspek semantik, dan mengkaji dari aspek pragmatik.
Dari aspek sintaksis, pertama kita dapat melihat pada baris pertama tertulis:

Hujan berhari-hari, begitu derasnya.

Apabila kita perhatikan, baris pertama dalam puisi tersebut merupakan sebuah frasa. ‘Hujan berhari-hari, begitu derasnya.’sebenarnya berasal dari frasa ‘Hujan deras’. Jadi meski pun sekilas tampak seperti klausa, namun penggalan puisi tersebut adalah sebuah frasa. Bahasa sastra, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berbeda dengan bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, seringkali bahasa sastra memang tidak selalu mengikuti kaidah sintaksis. Dalam puisi ini, saya menemukan penggalan yang dapat dikatakan ‘manut’ dengan kaidah sintaksis, yaitu:


Api berkobar-kobar menghanguskan jantungku

Jika penggalan puisi tersebut dianalisis agar kita mengetahui, sesuai atau tidakkan dengan kaidah sintaksis, akan menjadi seperti berikut:

Api berkobar-kobar menghanguskan jantungku
Subjek (frasa) Predikat Objek

Dari sisi sintaksis, kalimat di atas tepat, karena letak subjek, predikat, mau pun objek telah tepat pada posisinya masing-masing.

Sedangkan dari aspek semantik, dalam puisi ini, sebenarnya tidak terdapat kata-kata yang kemudian menyulitkan pembaca untuk memahaminya. Namun, seorang Agus R. Sarjono menggunakan kata-kata yang sebenarnya menyembunyikan makna sebenarnya. Seperti:

Sebagai ibu, aku tak melahirkanmu dengan tinju dan peluru

Jika kita cermati, tentulah maksud dari penggalan puisi tersebut, bukanlah seorang ibu yang melahirkan, menggunakan tinju dan peluru, untuk membantunya segera melahirkan anaknya. Namun ada makna lain di balik kata ‘tinju’ dan ‘peluru’ tersebut. Bahkan kata ‘ibu’ dalam penggalan tersebut pun, dapat saya tangkap bukanlah ‘ibu’ dalam arti seseorang yang telah melahirkan dan menyayangi anak-anaknya. Namun, merupakan ibu pertiwi, atau pada hakikatnya merupakan negeri kita sendiri. Apabila diumpamakan negeri ini sebagai sosok yang hidup, yang dapat memiliki rasa, negeri kita ini adalah seorang ibu, sedangkan seluruh bangsa Indonesia adalah anak-anaknya. Sedangkan ‘tinju’ dan ‘peluru’ merupakan gambaran betapa sudah carut-marut negeri ini, sehingga menghasilkan begitu banyak generasi yang senang melakukan segala sesuatunya dengan kekerasan, yang meretakkan keharmonisan bangsa.
Selain itu terdapat pula penggalan:

Darah anak-anakku dengan masa depan yang jingga dan gemuruh!

Masa depan yang jingga dan gemuruh. Jika melihat beberapa pemaknaan terhadap warna jingga atau yang lebih dikenal dengan oranye, jingga adalah warna yang menggambarkan keceriaan, kegembiraan, serta rasa humor. Namun, warna tersebut juga menandai ketidaktahuan, serta kebimbangan. Dari pemaknaan-pemaknaan terhadap warna jingga di atas, dengan kaitannya dengan makna warna jingga itu sendiri dalam puisi ‘Surat Belasungkawa’, akan lebih tepat jika jingga dimaknai dengan suatu keadaan penuh ketidaktahuan serta kebimbangan. Tepatnya, ketidaktahuan dan kebimbangan ibu pertiwi terhadap nasib bangsa yang semakin terpuruk.

Lalu dari aspek pragmatik, kental terasa pada bait terakhir puisi ini, yang berbunyi:

Dengan darah siapa lagi
tubuh ibumu mesti dicuci
dengan kobaran api macam apa lagi
kotoran di jantungku mesti dibasmi.
Dengan airmata siapa lagi, ketakutan
dan erang luka siapa lagi, baru negeri ini
bisa berdiri seperti layaknya sebuah negeri
tanpa kekerasan yang membikin aku, ibumu
bergidik ngeri menangisi nasib
anak-anaknya sendiri.

Sebenarnya, isi dari bait terakhir ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tertuju kepada bangsa kita. Apakah dengan berbagai pertanyaan yang menyayat hati tersebut, bangsa kita akan terenyuh, lalu menyadari apa saja yang seharusnya mereka kerjakan dan mereka perbaiki demi negeri mereka? Bait terakhir ini memancing respon dari pembaca, terhadap pikiran seorang Agus R. Sarjono yang tertuang secara gamblang dalam ‘Surat Belasungkawa’, yang merupakan benar-benar ungkapan belasungkawa dirinya, atas nasib bangsa dan negeri kita tercinta.

Kesimpulan

Puisi ‘Surat Belasungkawa’ karya Agus R. Sarjono merupakan salah satu karya yang di dalamnya penuh akan simbol yang apabila terpecahkan, akan menjadi suatu pesan moral yang penting untuk diketahui pembacanya. Meski pun bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang sulit, namun makna sesungguhnya yang terdapat dalam puisinya haruslah dikaji lebih mendalam, agar pemahaman yang didapat oleh pembaca pun tidak menjadi setengah-setengah.